Sebagai Muslim, kita tentu tidak punya cukup alasan untuk menegasikan satu doktrin teologis dalam kitab suci yang menyebut daging babi sebagai makanan yang haram dikonsumsi. Namun demikian, menggunakan doktrin teologis ini secara serampangan untuk kepentingan popularitas dan elektabilitas tentu tidak dianjurkan untuk dilakukan seorang Muslim, apalagi jika tindakan tersebut dimaksudkan sebagai sebuah upaya untuk mendiskreditkan pihak lain dengan narasi-narasi yang terkesan religius, tapi pada hakikatnya justru merusak kerukunan antarumat beragama.
Beberapa waktu lalu, di tengah kesyahduan Ramadan–bulan suci yang hanya datang sekali dalam setahun–kita dikejutkan dengan pernyataan seorang oknum politisi yang beredar melalui tayangan video–yang kemudian viral di media sosial. Dalam video dimaksud seorang oknum politisi dengan gagahnya menyebut adanya temuan daging babi dan anjing yang dijual di pasar Peunayong, Banda Aceh. Sontak saja, pernyataan ini meledakkan emosi sebagian masyarakat Aceh yang kemudian memunculkan berbagai komentar miring di media sosial.
Baru-baru ini, pernyataan oknum politisi berpeci hitam yang beredar via media sosial tersebut dibantah tegas oleh Keuchik dan perangkat gampong Peunayong. Menurut mereka penemuan daging babi dan anjing tersebut bukan terjadi di Peunayong, tetapi di Gampong Mulia–sebagaimana dibenarkan pihak Satpol PP WH melalui siaran media. Bahkan akibat pernyataan tersebut, warga Peunayong meminta si politisi–yang sebenarnya tidak terlalu terkenal itu–agar mencabut pernyataannya serta meminta maaf.
Sementara itu, Kasatpol PP dan WH melalui media menyatakan bahwa dalam razia yang mereka lakukan, mereka memang menemukan daging babi dan anjing di sebuah rumah milik non Muslim di Gampong Mulia–yang mana daging tersebut dijual untuk kalangan mereka sendiri.
Nah, berdasarkan keterangan-keterangan tersebut–pernyataan oknum politisi yang sebelumnya telah berhasil memengaruhi publik, ternyata hanya omong-kosong yang sama sekali tidak berdasarkan data, untuk tidak menyebut berdasarkan amarah–demi popularitas, mengingat tahun-tahun pemilu sudah dekat.
Selain itu, penemuan daging babi di rumah non Muslim tidaklah sama dengan menemukannya di pasar (dijual untuk umum), sehingga komentar oknum politisi tersebut adalah tindakan yang amat tendensius karena dengan serampangan telah mengaitkan penemuan tersebut dengan penegakan syariat Islam di Aceh; seolah-olah mereka sengaja menjual daging tersebut kepada warga Muslim.
Namun demikian, dalam konteks politik elektoral, apa yang dilakukan oknum politisi tersebut sudah benar. Artinya, seorang politisi mesti tahu kapan ia harus bicara–meskipun hanya omong-kosong, dan tahu pula kapan harus diam–meskipun suaranya dibutuhkan publik. Dengan kata lain, matematika politisi memang terbilang rumit dan hanya bisa dipahami oleh kalangan mereka sendiri.
Selain itu, sebagai orator yang baik, seorang politisi tentu harus memahami betul psikologi audiens–sehingga narasi-narasi menusuk bertopeng agama dapat dengan mudah dilemparkan ke hadapan publik yang kemudian akan diterima bulat-bulat. Seperti kita tahu, dalam konteks Aceh, isu-isu yang berkaitan dengan agama masih saja menjadi topik paling seksi untuk diperbincangkan, di mana isu-isu demikian dapat dengan mudah mengikat emosi publik yang kemudian akan berdampak pada meningkatnya popularitas seseorang.
Hingga saat ini, khususnya di Aceh, strategi politisasi agama masih terbilang sangat efektif sehingga menjadi wajar saja apabila kemudian ramai politisi yang menggunakan strategi ini demi mencapai kesuksesan politik.
Jangan Seperti Babi
Namun demikian, terlepas dari pernyataan kontroversial yang viral baru-baru ini, ada baiknya kita semua kembali kepada argumentasi teologis kenapa daging babi diharamkan bagi Muslim. Dari sekian pandangan yang disampaikan para pakar Muslim, salah satunya menyebut bahwa DNA babi memiliki kemiripan dengan manusia. Informasi ini pernah dilansir Republika, di mana kesamaan DNA ini memungkinkan sifat-sifat buruk babi tertular kepada manusia.
Adapun sifat-sifat buruk dari babi di antaranya adalah rakus. Seperti kita tahu, sifat rakus ini juga melekat pada manusia. Dalam konteks politik, kerakusan semacam ini kerap terjadi, di mana ada oknum-oknum politisi yang rakus akan kekuasan rela melakukan apa pun untuk mempertahankan kekuasaanya, termasuk melakukan provokasi-provokasi murahan dengan menggunakan narasi-narasi religius demi kepentingan sekularnya.
Babi juga disebut-sebut memiliki sifat jorok, di mana tuan-tuan babi tersebut acap kali dianggap sebagai makhluk paling jorok di dunia hewan. Karena kesamaan DNA tadi, bukan tidak mungkin sifat jorok dari babi ini kemudian juga tertular kepada manusia. Di dunia politik, kejorokan semacam ini dapat dengan mudah ditemukan–di mana ada oknum-oknum politisi yang di hadapan publik mulutnya selalu basah dengan zikir, tapi di belakang justru menikung dengan melakukan tindakan korupsi untuk memperkaya diri dan kelompoknya. Dalam pandangan awam, kejorokan semacam ini tentu tidak akan terlihat, sebab mereka telah terlena dengan narasi-narasi religius yang saban hari keluar dari mulut oknum politisi.
Sifat lainnya yang kerap dilekatkan pada babi adalah kesukaan hewan itu yang disebut-sebut gemar memakan kotoran sendiri. Meskipun ada kesamaan DNA dengan manusia, namun sejauh ini belum ditemukan ada manusia yang suka memakan kotoran sendiri. Akan tetapi, secara metaforis hal-hal demikian juga bisa saja dilakukan oleh manusia.
Dalam dunia politik, apa pun menjadi mungkin–seperti dikemukakan sebelumnya bahwa Matematika politisi itu rumit–sehingga bukan tidak mungkin seorang oknum politisi melakukan tindakan-tindakan yang sebenarnya tidak mungkin menjadi mungkin.
Menyampaikan informasi omong-kosong yang tidak berdasarkan data pada hakikatnya tidaklah mungkin dilakukan, tapi faktanya ada oknum politisi yang dengan gagah berani dan penuh percaya diri melakukan tindakan tersebut dengan penuh kebanggaan. Dalam kondisi inilah, secara tidak sadar si oknum politisi telah menyerap sifat-sifat buruk dari babi yang memakan kotoran sendiri (yang sebenarnya tidak mungkin).
Karena itu, kita berharap tidak ada politisi kita, baik secara sengaja atau pun tidak, yang mencoba-coba meniru babi. Bagbudig!
No comments:
Post a Comment