Oleh: Khairil Miswar
Founder POeSA Institute
Lahirnya Qanun No. 11 Tahun 2018 tentang Lembaga Keuangan Syariah (Qanun LKS) pada 31 Desember 2018 menjadi penanda dimulainya era baru di Aceh dengan berlakunya sistem ekonomi syariah. Qanun yang mulai berlaku pada 4 Januari 2019 tersebut berhasil memaksa seluruh lembaga keuangan, baik perbankan maupun non perbankan yang beroperasi di Aceh untuk melakukan konversi dari sistem konvensional menjadi sistem syariah.
Adapun tujuan umum dari penerapan qanun tersebut adalah untuk menghindarkan masyarakat Aceh dari sistem transaksi ribawi dan juga demi terciptanya keadilan ekonomi. Dalam hal ini, seperangkat aturan yang dirancang dalam qanun akan menjadi rambu-rambu bagi lembaga keuangan di Aceh untuk memastikan sistem dan transaksinya terbebas dari riba.
Formalisasi Syariat Islam yang berlangsung di Aceh sejak 2002 adalah landasan utama lahirnya qanun ini. Dalam hal ini, Aceh memiliki hak untuk melahirkan terobosan khusus dengan merujuk pada Undang-Undang No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh. Pemberlakukan sistem ekonomi syariah di Aceh bukan saja memiliki landasan yuridis yang kuat, tapi juga disokong landasan sosiologis yang cukup mengakar, di mana jumlah penduduk Muslim di daerah ini mencapai 98,56% dari total populasi 5,33 juta jiwa.
Selain itu, industri perbankan syariah sendiri bukan produk baru di Aceh. Seperti dikemukakan Sarah dkk (Global Journal of Islamic Banking and Finance), perbankan syariah sudah mulai tumbuh pasca krisis ekonomi 1998. Di Aceh sendiri, perbankan syariah sudah beroperasi sejak 1991 dengan berdirinya Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS) di Aceh Besar. Menurut Sarah, pendirian bank syariah tersebut hampir beriringan dengan lahirnya Bank Muamalat Indonesia. Karena itu dengan mengutip Khalidi (2016), tulis Sarah dkk, Aceh dapat disebut sebagai pencetus perbankan syariah di Indonesia.
Kemudian, merujuk pada data Otoritas Jasa Keuangan 2013-2018, jauh sebelum Qanun LKS diberlakukan, aset perbankan syariah di Aceh telah mengalami kenaikan dari tahun ke tahun dengan rata-rata pertumbuhan 19,74 persen. Sementara rata-rata pertumbuhan pembiayaan berada pada angka 20,98 persen. Karena itu, sampai dengan tahun 2018, meskipun kesadaran masyarakat belum tumbuh seperti saat ini, Aceh tetap berada pada peringkat keempat dari sepuluh provinsi dengan aset perbankan syariah terbesar di tanah air.
Menurut Fuadi (Jurnal Al-Mizan, 2023), Aceh sebagai provinsi dengan penduduk mayoritas Muslim dan memiliki budaya Islami, punya potensi besar untuk mengembangkan ekonomi syariah. Ada banyak potensi sumber daya alam yang dapat dimanfaatkan guna mendukung pengembangan ekonomi syariah, seperti gas, minyak dan tambang emas. Selain itu, masih menurut Fuadi, Aceh juga memiliki kekayaan budaya seperti kesenian, kerajinan dan juga parawisata yang bisa dijadikan potensi dalam pengembangan ekonomi syariah di provinsi tersebut.
Dengan kondisi tersebut, penerapan Qanun LKS tidak mengalami kendala berarti di Aceh, meskipun terjadi pro kontra terkait dengan hilangnya bank konvensional dan juga konversi yang terburu-buru. Namun demikian, secara umum perubahan sistem ini diterima khalayak secara luas.
Dampak Qanun LKS
Menurut Syamsuri dkk (Jurnal Ilmiah Ekonomi Islam, 2021), Qanun LKS bisa menjadi role model dalam pengembangan lembaga keuangan syariah di Indonesia, dan bahkan dunia. Aturan tentang lembaga keuangan dengan prinsip-prinsip syariah yang terdapat dalam qanun ini bisa dijadikan contoh untuk membebaskan lembaga keuangan dari transaksi riba yang bernuansa kapitalis menuju lembaga keuangan yang menegakkan keadilan ekonomi bagi semua.
Dalam konteks Aceh, keberadaan Qanun LKS diyakini telah memberikan dampak positif bagi terlaksananya ekonomi syariah secara lebih terukur karena telah memiliki rambu-rambu yang jelas. Sejauh ini juga telah ada sejumlah penelitian yang menjelaskan dampak Qanun LKS ini terhadap perekonomian masyarakat di Aceh.
Pradana dan Purwanto dalam Jurnal At-Thullab (2023) yang meneliti tentang dampak Qanun LKS terhadap Lembaga Keuangan Mikro di Banda Aceh, mengungkapkan bahwa keberadaan qanun telah berdampak pada meningkatnya kepercayaan nasabah kepada lembaga keuangan tersebut sehingga terjadi penambahan nasabah dan juga meningkatnya investasi.
Sementara itu riset Kusuma dan Farma (Jurnal Mahasiswa Ekonomi Islam, 2022) yang dilakukan terhadap UMKM di Gampong Darussalam, Kota Banda Aceh, menemukan adanya praktik prinsip-prinsip syariah oleh masyarakat di sana. Dalam hal ini, para pelaku usaha hanya memproduksi barang-barang yang sudah dijamin halal. Mereka juga tidak melakukan penimbunan barang untuk tujuan memperoleh keuntungan pribadi. Persaingan antar pelaku usaha juga terbilang sehat karena tidak adanya monopoli.
Ekonomi Syariah dan Industri Halal
Maruf Amin (Wapres RI), dalam acara pengukuhan Komite Daerah Ekonomi dan Keuangan Syariah (KDEKS) Aceh pada 2023, mengatakan fokus ekonomi syariah adalah industri halal sehingga Indonesia bisa menjadi produser produk halal terbesar di dunia. Salah satunya adalah dengan membentuk pengusaha dan juga perusahaan yang berbasis pada prinsip syariah (humas.acehprov.go.id).
Seperti dilaporkan Dinar Standard, pada 2025 pembelian produk halal oleh Muslim dunia akan mencapai USD 2,8 triliun. Menurut sumber tersebut, pada 2023 Bank Indonesia memprediksi sektor prioritas Halal Value Chan (HVC) dalam negeri seperti pertanian halal, fesyen Muslim dan parawisata ramah Muslim akan tumbuh sekitar 4,5—5,3 persen sehingga akan menopang lebih dari 25 persen ekonomi nasional. Dalam hal ini, Indonesia berpeluang menangkap peluang industri halal dalam dan luar negeri. Dukungan besar pemerintah dalam proyek ini terlihat dari upaya Kemenperin yang memasukkan Pemberdayaan Industri Halal menjadi bagian dari Kebijakan Industri Nasional (KIN) melalui Peraturan Presiden nomor 74 tahun 2022 tentang Kebijakan Industri Nasional.
Dukungan Pemerintah Aceh dalam Pengembangan Industri Halal
Sejauh ini, produk halal dalam negeri masih didominasi impor. Dalam hal ini, Aceh sebagai satu-satunya provinsi yang telah menjalankan formalisasi syariat Islam dan didukung dengan keberadaan Qanun LKS hendaknya bisa didorong untuk tampil sebagai salah satu pusat industri halal di Indonesia. Untuk mencapai target ini dibutuhkan usaha optimal dari semua pihak, khususnya pemerintah, dengan melahirkan sejumlah regulasi yang mendukung terbentuknya iklim sehat bagi pengembangan produk halal di Aceh.
Kebutuhan terhadap produk halal di dunia yang semakin meningkat memberi peluang bagi Indonesia, khususnya Aceh untuk mengambil peran sebagai produsen produk halal yang kompetitif. Dalam hal ini, produk-produk berkualitas harus dilengkapi dengan sertifikat halal yang menjadi salah satu indikator penjamin kualitas kehalalan suatu produk.
Strategi ini penting untuk menciptakan kepercayaan pasar terhadap produk yang dihasilkan, sebab label halal akan mengonfirmasi kualitas dan kehalalan suatu produk pada konsumen.
Seperti dikemukakan Yulia (Jurnal Bimas Islam, 2015), sertifikat halal adalah instrumen penting untuk bisa mengakses pasar yang lebih luas serta memperkuat daya saing produk di pasar internasional sehingga dapat menumbuhkan kepercayaan konsumen, khususnya dari komunitas Muslim.
Di Aceh sendiri, selama ini pelaksanaan sertifikasi halal didasarkan pada Qanun Aceh No. 8 tahun 2016 tentang Sistem Jaminan Produk Halal. Saat ini MPU Aceh juga sudah mengembangkan Sistem Informasi Jaminan Produk Halal (SIJAMAL). Selain itu, para pihak juga telah sepakat melakukan sinkronisasi pelaksanaan sertifikasi halal agar mendapat pengakuan secara internasional.
Merujuk pada kondisi ini, harapan menjadikan Aceh sebagai salah satu pusat industri halal tampak kian terbuka. Tinggal saja bagaimana pemerintah Aceh dan pelaku usaha mengambil peran dan melakukan langkah-langkah strategis agar harapan tersebut segera terwujud.
Ilustrasi: cekindo.com
No comments:
Post a Comment