Oleh: Arizul Suwar
Pada hal 140-142, bagian dari bab Terbang Menuju Cinta: Musyawarah Burung Fariduddin Athar, Miswari menulis:
“Tasawuf merupakan pengetahuan tertinggi dalam Islam… Seorang sufi tentunya harus telah khatam mempelajari ilmu fiqh, ilmu ushul fiqh, ilmu tafsir, ilmu manthiq… Di samping itu, ilmu-ilmu tersebut juga harus telah benar-benar diterapkan dalam kehidupan mereka.
“Kitab tasawuf dipelajari setelah khatam mempelajari kitab-kitab sebelumnya di bawah bimbingan ‘ulama mu’tabar. Kitab-kitab yang sebelumnya dipelajari secara sistematis…
“Kitab-kitab tersebut merupakan prasyarat yang harus dipelajari dan isinya menjadi amalan yang inheren dalam kehidupan…”
Dari kutipan di atas, saya menemukan Miswari seakan-akan membatasi jalan menuju Tuhan (tasawuf) hanya diperuntukkan bagi orang-orang tertentu, yaitu bagi mereka yang punya banyak waktu luang untuk bisa belajar secara rigid siang dan malam.
Entah bagaimana pandangan beliau terhadap mereka-mereka yang siang dan malam dituntut oleh keadaan untuk bekerja memenuhi kebutuhan sehari-hari, seorang anak yatim piatu yang harus mengamen hanya untuk bisa memberi makan kepada adik-adiknya, seorang janda tua yang tinggal di ujung desa jak tung upah untuk mita breuh si aree, kapan mereka bisa belajar dan mengkhatamkan banyak kitab? apakah mereka tak bisa menyentuh tasawuf dan menyucikan diri?
Bagi saya, setiap orang yang punya niat dan tindakan mulia, ingin kepada Tuhan, walau dengan seribu keterbatasan dia tetap bisa untuk mempelajari dan mengamalkan tasawuf tentunya di bawah bimbingan mursyid.
Kitab-kitab yang disebutkan di atas itu bagi saya hanya penting sesuai kadar kebutuhan masing-masing, kecuali bagi mereka-mereka yang memang menggeluti ilmu pengetahuan di samping juga telah ditopang oleh kondisi ekonomi yang memadai.
Tasawuf bagi saya bersifat universal (bisa dinikmati, bisa dijalani, oleh siapa pun, siapa pun yang ingin menyucikan diri dan meraih ridha ilahi). Syarat menjadi sufi bagi saya terletak pada perjuangan seseorang mengalahkan ego untuk meraih Tuhan, hanya Tuhan yang diinginkannya dan menebar kasih sayang.
Setelah kehilangan guru tercinta Syam Tabrizi, Mawlana Rumi mencari sahabat tempat dirinya bercermin, kemudian menemukan seorang pedagang gula yang diejek oleh para muridnya sebagai orang yang tidak fasih membaca Al Fatihah.
Jika syarat-syarat sufi harus mengkaji dan mengkhatamkan banyak kitab, mengapa Mawlana Rumi tidak memilih saja orang yang alim sebagai sahabat?
Editor: Khairil Miswar
No comments:
Post a Comment